Oleh : Guntenda Halilintar
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan pada rapat paripurna DPR dan pemerintah, Senin (12/2/2018) kemarin, menimbulkan polemis ditengah kalangan masyarakat. Sejumlah pasal yang kontroversial itudinilai mengangkangi UUD 1945.
Pengesahan revisi UU MD3 ini sangat mengecewakan karena dianggap kontraproduktif dengan Prinsip-prinsip demokrasi. sejumlah pasal tersebut yang ditolak dalam revisi UU MD3, pasal 73 ayat (3), (4) poin a dan c, terkait dengan kewajiban polisi membantu DPR memanggil paksa pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR. Pasal 122 huruf (k) yang mengatur tentang penghinaan dan meredahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal 245 ayat (1) mengatur soal pemeriksaan DPR yang diduga melakukan tindakan pidana harus didahului pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan izin Presiden.
Menyoroti tugasdan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pasal 121 poin (a) dan (b) UU MD3 sudah jelas mengatur tentang fungsi MKD yaitu fungsi Pencegahan, Pengawasan dan Penindakan. Selain itu juga, tugas MKD juga melakukan evaluasi penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. MKD berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Juga menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai tuntutannya.
Menilik pada pasal 121 diatas maka jelas bahwa, MKD bertujuan untuk menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan DPR. MKD adalah salah satu alat kelengkapan dewan yang bersifat tetap, jadi pada dasarnya MKD hanya mengurus Internal DPR.
Jika kita merujuk pada pasal 73 ayat (3) dan (4) poin a dan c, 122 huruf (k) dan 245 ayat (1) peran MKD begitu masif dan terstruktur untuk menangani persoalan-persoalan diluar tugas dan fungsinya. Misalnya pasal 245 ayat (1). Meskipun pasal ini tidak sejalan dengan putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 terkait pengujian pasal 224 ayat (5) dan pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang menghapuskan persetujuan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang diduga terlibat tindak pidana diganti persetujuan presiden.
Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD) berperan penting pasalnya, izin persetujuan presiden atas rekomendasi MKD tidak berlaku terhadap dugaan tindak pidana yang berhubungan dengan tugas anggota DPR. Dengan sendirinya Lembaga Penegak Hukum tidak bisa melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap anggota DPR yang tersangkut persoalan hukum.
DPR Mengangkangi UUD 1945.
Saya memandang revisi UU MD3 ini merupakan kemunduran dalam mewujudkan nialai demokrasi. Pada jaman Orde Baru, kita merasakan bahwa hak kita sebagai rakyat dibatasi dan atau dibajak oleh pemerintah dibawah kepemimpinan Soeharto. Nah, Kebebasan demokrasi pasca reformasi itu telah dihianati oleh DPR. Jika UU MD3 tidak diamandemenkan, maka dengan sendirinya kita kembali pada jaman orde baru, dimana kita tidak bisa mengkritisi lembaga DPR.
Prinsip dasar nilai demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” hanyalah sebuah semboyan belaka, DPR saat ini merupakan wakil partai politik bukan wakil rakyat, terlihat dalam rapat paripurna bahwa DPR lebih mementingkan kepentingan Partai Politik ketimbang kepentingan Rakyat, maka hemat saya UU MD3 merupakan produk titipan Partai atau produk Politik yang dilahirkan oleh DPR bukan sebuah produk hukum yang murni.
Pasal 73 ayat (3) dan (4) poin a dan c telah melegalkan pemangilan paksa dengan bantuan polisi terhadap orang perorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. jelas ini bertentangan dengan peran dan fungsi DPRyang diatur dalam konstitusi yakni menyerap aspirasi dan kepentingan rakyat dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan sesuai pasal 20A UUD 1945. Wewenang pemanggilan paksa membuat masyarakat tidak berani mengkritik lebih jauh terkait perilaku dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anggota DPR. Sejatinya, DPR dipilih oleh rakyat sebagai penyambung lidah, padahal hal rakyat berhak mengontrol dan mengkritik DPR sebagai wakil rakyat.
Sikap Presiden yang belum menandatangani UU MD3.
Polemik UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) terkait beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut, ternyata bukan hanya memantik reaksi kalangan masyarakat namun juga memantik reaksi Presiden Jokowi Dodo. Pasalnya, hingga saat ini Presiden belum menandatangani perubahan kedua atas UU MD3 yang disahkan DPR pada Senin (12/2/2018).
Secara tidak lansung Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sudah mewakili Pemerintah pada Rapat Paripurna Pengesahan UU MD3 tersebut karena kehadiran Yasona Laoli merupakan representyasi dari pemerintah. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945disebutkan RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan meski tidak ditandatangi Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama. Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 170 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Per-UU. Namun. Jika, Presiden tidak menandatangani UU MD3. Maka proses gugatan aturan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK). Jakarta (10/3/2018)
Image : Nasionalisme.Net |
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang disahkan pada rapat paripurna DPR dan pemerintah, Senin (12/2/2018) kemarin, menimbulkan polemis ditengah kalangan masyarakat. Sejumlah pasal yang kontroversial itudinilai mengangkangi UUD 1945.
Pengesahan revisi UU MD3 ini sangat mengecewakan karena dianggap kontraproduktif dengan Prinsip-prinsip demokrasi. sejumlah pasal tersebut yang ditolak dalam revisi UU MD3, pasal 73 ayat (3), (4) poin a dan c, terkait dengan kewajiban polisi membantu DPR memanggil paksa pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR. Pasal 122 huruf (k) yang mengatur tentang penghinaan dan meredahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Pasal 245 ayat (1) mengatur soal pemeriksaan DPR yang diduga melakukan tindakan pidana harus didahului pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan izin Presiden.
Menyoroti tugasdan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pasal 121 poin (a) dan (b) UU MD3 sudah jelas mengatur tentang fungsi MKD yaitu fungsi Pencegahan, Pengawasan dan Penindakan. Selain itu juga, tugas MKD juga melakukan evaluasi penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR. MKD berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Juga menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai tuntutannya.
Menilik pada pasal 121 diatas maka jelas bahwa, MKD bertujuan untuk menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan DPR. MKD adalah salah satu alat kelengkapan dewan yang bersifat tetap, jadi pada dasarnya MKD hanya mengurus Internal DPR.
Jika kita merujuk pada pasal 73 ayat (3) dan (4) poin a dan c, 122 huruf (k) dan 245 ayat (1) peran MKD begitu masif dan terstruktur untuk menangani persoalan-persoalan diluar tugas dan fungsinya. Misalnya pasal 245 ayat (1). Meskipun pasal ini tidak sejalan dengan putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 terkait pengujian pasal 224 ayat (5) dan pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang menghapuskan persetujuan MKD dalam pemeriksaan anggota DPR yang diduga terlibat tindak pidana diganti persetujuan presiden.
Mahkamah Kehormatan Dewan(MKD) berperan penting pasalnya, izin persetujuan presiden atas rekomendasi MKD tidak berlaku terhadap dugaan tindak pidana yang berhubungan dengan tugas anggota DPR. Dengan sendirinya Lembaga Penegak Hukum tidak bisa melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap anggota DPR yang tersangkut persoalan hukum.
DPR Mengangkangi UUD 1945.
Saya memandang revisi UU MD3 ini merupakan kemunduran dalam mewujudkan nialai demokrasi. Pada jaman Orde Baru, kita merasakan bahwa hak kita sebagai rakyat dibatasi dan atau dibajak oleh pemerintah dibawah kepemimpinan Soeharto. Nah, Kebebasan demokrasi pasca reformasi itu telah dihianati oleh DPR. Jika UU MD3 tidak diamandemenkan, maka dengan sendirinya kita kembali pada jaman orde baru, dimana kita tidak bisa mengkritisi lembaga DPR.
Prinsip dasar nilai demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” hanyalah sebuah semboyan belaka, DPR saat ini merupakan wakil partai politik bukan wakil rakyat, terlihat dalam rapat paripurna bahwa DPR lebih mementingkan kepentingan Partai Politik ketimbang kepentingan Rakyat, maka hemat saya UU MD3 merupakan produk titipan Partai atau produk Politik yang dilahirkan oleh DPR bukan sebuah produk hukum yang murni.
Pasal 73 ayat (3) dan (4) poin a dan c telah melegalkan pemangilan paksa dengan bantuan polisi terhadap orang perorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya. jelas ini bertentangan dengan peran dan fungsi DPRyang diatur dalam konstitusi yakni menyerap aspirasi dan kepentingan rakyat dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan sesuai pasal 20A UUD 1945. Wewenang pemanggilan paksa membuat masyarakat tidak berani mengkritik lebih jauh terkait perilaku dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Anggota DPR. Sejatinya, DPR dipilih oleh rakyat sebagai penyambung lidah, padahal hal rakyat berhak mengontrol dan mengkritik DPR sebagai wakil rakyat.
Sikap Presiden yang belum menandatangani UU MD3.
Polemik UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) terkait beberapa pasal yang sangat kontroversial tersebut, ternyata bukan hanya memantik reaksi kalangan masyarakat namun juga memantik reaksi Presiden Jokowi Dodo. Pasalnya, hingga saat ini Presiden belum menandatangani perubahan kedua atas UU MD3 yang disahkan DPR pada Senin (12/2/2018).
Secara tidak lansung Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sudah mewakili Pemerintah pada Rapat Paripurna Pengesahan UU MD3 tersebut karena kehadiran Yasona Laoli merupakan representyasi dari pemerintah. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945disebutkan RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan meski tidak ditandatangi Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama. Lebih lanjut disebutkan dalam pasal 170 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Per-UU. Namun. Jika, Presiden tidak menandatangani UU MD3. Maka proses gugatan aturan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK). Jakarta (10/3/2018)
Posting Komentar